| Print Cerpen
Posting cerpen by: Naila Mufidah
Total cerpen di baca: 422
Total kata dlm cerpen: 769
Tanggal cerpen diinput: Tue, 3 Nov 2009 Jam cerpen diinput: 9:53 PM
1 Komentar cerpen
Napasku tertahan, aku teringat pada Syams, tapi bukan merindukannya. Saat napasku kembali pada ritmenya yang teratur, adegan-adegan bersama Syams di masa lalu berkelebat dan silih berganti datang seperti video usang yang diputar ulang dalam player yang baru. Bukan tanpa alasan aku teringat padanya, kondektur itulah yang memancing riak-riak kecil keceriaan kami hingga kembali terkenang. Kondektur itu menyentuh bahuku dan aku merasa dia keras sekali menekannya. Aku mengambil uang receh dari saku rokku dan setelah itu bayangan Syams muncul di hadapanku, menyamarkan pemandangan menyesakkan tentang kemacetan di dalam kota. Saat itu aku masih berkerudung lebar ( terbawa suasana rohani islam masa SMA ), asyik dengan kegemaranku, menulis di balik kertas-kertas makalah yang sudah dipakai ( seperti sekarang ). kelas dalam suasana sepi, hanya ada Syams, Debbi dan genknya, serta aku. Posisi duduk kami saling berjauhan, kecuali antara Syams dan aku. Pemuda itu duduk tenang, membaca buku Aa Gym di bangku pojok depan kelas, sedangkan aku duduk di bangku ketiga di belakangnya. Kami tidak saling bicara karena memang tak ada yang ingin kami bicarakan ( mungkin... tapi aku tak yakin dengan itu ). Lalu, Riva'i - teman sekelasku yang lain - masuk terburu-buru. Dia tertawa nakal - puas - lepas. Aku melihatnya ( hanya sekadar melihat ) untuk mencari informasi dari ekspresinya, dan ku tahu dia juga menatapku. Aku acuhkan dan kembali menulis, tak tahu apa yang dia lakukan, dan memang tidak ingin tahu apa yang akan dia lakukan. Sejurus kemudian, tanpa aku sadar dia sudah berdiri di sampingku. " Apa? " tanyaku sambil tersenyum, kalau-kalau dia butuh bantuanku. Dia memberikan senyuman manis padaku. Tanpa bicara, dia tiba-tiba menyentuh pundakku. Refleks aku berteriak, " Riva'i !! Apa-apaan sih?!" teriakku sambil merebut tubuhku. Sontak, Syams langsung menatap kami. Dia menggebrak meja, dan aku terpana dibuatnya. " Riva'i!!!" bentaknya, matanya geram. Riva'i tertawa lalu berlalu, Syams seperti hendak mengejarnya, tapi dia menatapku, aku menunduk, dan dia berdiri mematung, hanya sebentar, untuk kemudian duduk kembali. Aku tahu Riva'i tidak serius, tapi aku tahu Syams serius, karena itu aku terpana dibuatnya. Aku pun tersenyum mengenang kejadian heroik itu. Setibanya di kampus, aku duduk di samping jendela. Ku buka lebar hingga angin lantai tujuh berhembus dengan kuat, menyibakkan kerudungku. Kelas masih sepi dan suasana itu lah yang membuatku melamunkan kembali kenangan antara Syams, aku, dan kelas. Aku menggosok-gosokkan tangan. Angin tanpa izin masuk menyerbu pintu kelas. Ku tiup telapak tangan beberapa kali. Mataku tetap sibuk memperhatikan Bu Nur beserta jejeran kata yang dikemukakan Faraday hingga menari-nari di depan mataku, menambah diriku untuk terseret ke alam bawah sadarku sendiri. Entah berapa lama aku sibuk menggosok tangan dan tubuhku. Sampai aku tiak menyadari Syams tengah memanggilku. " Iya!" seruku pelan. Dia berhenti menggerakkan bibir, kami saling bertatapan ( aku tidak yakin apa kami memang tidak merasakan perubahan apa-apa pada aliran darah kami ). Aku menaikkan alis, dia mengerti aku bertanya, maka dia jawab dengan tenang -seperti biasa- " Mau pakai jaket Syams? ". Tuhan... bimbing aku untuk terus berusaha tenang. Aku pun terpana dengan kejadian heroik itu. Bahkan kini aku tengah tersenyum, ku yakin pipiku pun memerah saat ini, saat mengenang jaket hijau itu menempel di tubuhku. Dosen Linguistikku sekarang tengah asyik menunjukkan kemahirannya menguasai tiga bahasa asing, dan itu mengingatkanku pula pada kejadian antara Syams, aku, dan kelas. Bu Ida, guru Bahasa Indonesiaku tengah mengajar dengan ceria seperti biasa, dia menyuruh tiap siswa memilih siapa lawan mainnya dalam drama singkat. Kebetulan Syams yang diminta memilih, dengan lantang-tegas-tanpa ragu dia menyebut namaku. Teman-teman mengarahkan pandangan pada kami, tapi seperti sudah terbiasa dengan kejadian macam itu mereka tak berkomentar, atau mungkin segan mengomentari Ketua Rohis itu. Aku pun terpana dibuatnya. Kemudian, ribuan pertanyaan yang saling beranak-pinak melayang-layang di otakku, hingga sekarang. Tentang Syams, aku, dan apa yang akan terjadi nanti - di kala kami kembali bertemu - walau kami mungkin tengah digandeng atau menggandeng pasangan hidup kami kelak. Riva'i, angin, Bu Ida, drama, semua kenangan selama dua tahun bersama- di kelas yang sama-... hanya sebagai perantara agar kami mempunyai kenangan hingga akhirnya kami akan bertemu kembali dan aku yakin itu. Bertemu kembali dan melempar pertanyaan " Bolehkah aku sekedar mengenangmu dengan debaran di hati?".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar