CERPEN : lost in life
| Print Cerpen
Posting cerpen by: hesti
Total cerpen di baca: 190
Total kata dlm cerpen: 1773
Tanggal cerpen diinput: Wed, 4 Nov 2009 Jam cerpen diinput: 1:22 PM
0 Komentar cerpen
Malam ini mendung, sejalan dengan tempaan hati yang kini aku alami. Biasanya saat mendung seperti ini, aku bersama dengan teman sekontrakkan ku berharap agar hujan tidak turun, apalagi deras. Ya, tanda hujan turun dengan derasnya, berarti akan semakin sulit bagi kami untuk pergi ke luar, dan itu tandanya kami akan kesulitan mendapat pelanggan. Namun, itu dulu. Kini, tidak lagi, sejak dokter memvonis bahwa aku sakit. Sekarang, Tuhan mulai menjelaskan kepadaku akan rapuhnya diri manusia, saat nyawa ini mulai terseok-seok untuk bertahan. Aku terserang Aids, penyakit mematikan yang paling ditakuti oleh teman-teman yang seprofesi sepertiku. Ya, aku memang seorang PSK, orang-orang lebih mengenalku sebagai seorang pelacur. Namun, sekarang lebih tepat disebut mantan pelacur mungkin.Aku tahu, pekerjaanku di masa lalu memang kelam. Banyak sekali manusia yang menghujatku sebagai penghancur diri masyarakat. Aku sangat tahu itu. Namun sayang, keadaan berkata lain.***“Surti tolong ibu, Nak. Tolong belikan tepung buat tempe yang akan dijual besok pagi. Tolong Ibu ya, Nak.” Kata Ibuku dari dapur.“Iya, Bu, Surti belikan.” Sahutku kemudian. Aku memang seorang gadis sederhana yang hidup dalam keluarga sederhana. Aku tiggal di sebuah desa yang bernama Baturaden, di kaki Gunung Slamet. Untuk memenuhi kebutuhan keluargaku, bapakku bekerja sebagai pedagang sayur keliling. Namun karena uang yang didapat tidak seberapa, aku pun membantu bapakku dengan menjual tempe buatan ibuku di kantin sekolah. Aku bukanlah gadis yang berpendidikan. Pendapatan keluargaku memang membuatku harus belajar dari kehidupan saja. Namun, keadaanku yang seperti itu tidak pernah membuatku merasa minder. Bagiku, apa yang diberikan Tuhan melalui hembusan nafasku yang selalu mengiringi langkahku itu sudah cukup membuatku bahagia.Keluargaku juga sangat harmonis. Kemiskinan membuat kami selalu melakukan apa pun bersama. Setiap malam, kami selalu berkumpul. Kadang berdiskusi, kadang bercanda dan tertawa bersama karena tak pernah ada kesibukan berarti bagi kami. Yah, intinya, hidupku benar-benar sempurna, bagiku.Namun, suatu hari, Tuhan berkata lain. Bapakku yang semakin renta itu mendadak sakit. Aku tidak mengerti dengan jelas apa yang diderita oleh bapak. Menurut bidan di desaku sih, bapak terserang penyakit TBC. Yang aku tahu penyakit bapak cukup parah karena semakin hari bapak semakin sering batuk yang mengeluarkan darah. Dari dulu, hobi bapak memang merokok dengan tembakau yang dilinting. Menurut bapak, itu satu-satunya hiburan bapak yang dapat dibeli dengan harga yang murah. Kata bidan sih, itu pemicu penyakit bapak. Entahlah, yang jelas, keadaan keluargaku itu membuat bapak hanya bertahan dengan obat-obatan dari warung tetangga sebelah. Walaupun aku sangat sadar, obat-obatan itu tidak berefek sama sekali pada penyakit bapak. Buktinya, semakin hari, semakin sering aku melihat bapak yang terbatuk dengan mengeluarkan darah. Aku dan ibuku pun tidak dapat berbuat banyak. Kami hanya dapat menemani bapakku yang semakin hari semakin kurus dengan tangisan.Hal itu terus berlanjut, hingga suatu hari, hal yang paling kami takuti datang. Bapak meninggal di pangkuan Ibu. Itu kali pertama aku merasakan kehilangan orang yang paling aku cintai. Hanya ratap tangis dan penyesalan menjadi orang miskin yang bisa aku rasakan.Saat aku mulai menabahkan diriku dan menyemangati ibuku yang juga mulai renta, aku sadar bahwa Tuhan belum berhenti untuk mempermainkan nasib keluargaku. Ibuku mulai sering terbatuk-batuk seperti bapak saat itu. Saat aku bawa ke bidan, bidan bilang ibu tertular penyakit bapak yang waktu itu. Hhhh, kalau seandainya boleh, rasanya aku ingin memaki Tuhan yang tidak pernah berlaku adil kepadaku. Namun, aku sadar itu sia-sia. Tuhan boleh berlaku sekenanya padaku, tapi aku sudah bertekad bahwa Ibu takkan pernah mengalami nasib yang sama dengan Bapakku.Dalam keadaan sulit seperti itu, temanku mengenalkanku dengan seorang pria, yang menurutku sangat tampan, apalagi untuk ukuran pria di desaku. Dia seorang mahasiswa yang sedang melakukan sesuatu di desaku, katanya sih, PKL atau Praktek Kerja Lapangan. Pria itu bernama Dio. Menurut temanku, Dio itu tertarik padaku. Akupun merasakan hal yang sama. Dia pria tertampan yang pernah aku kenal. Suatu hari, saat aku menceritakan masalah yang menimpa keluargaku pada Dio, dia mengajakku untuk ikut dengannya ke rumahnya, Jakarta. Katanya dia mengetahui pekerjaan yang mudah dengan uang yang banyak. Karena rasa sukaku yang semakin bertambah padanya serta penyakit Ibuku yang tak kunjung sembuh, akupun mengiyakan ajakan Dio.Awalnya, ibuku memang tidak setuju aku pergi sendiri ke Jakarta. Apalagi di sana aku memang tidak mempunyai seorang saudara pun. Aku hanya berbekal janji Dio yang akan memberiku pekerjaan yang mudah itu. Aku bilang pada Ibu, ini demi kesembuhan Ibu dan kalau Ibu sembuh, aku janji aku akan balik lagi dengan membawa uang yang banyak.Seminggu kemudian, Dio pun mengajakku ke Jakarta. Aku tinggal di rumahnya yang sangat mewah itu. Awalnya, aku merasa sangat bahagia bisa tinggal bersama dengan pria yang menjadi cinta pertamaku itu. Namun semakin hari, aku semakin curiga melihat tingkahnya yang mulai sering meraba tubuhku. Aku benar-benar takut saat itu. “Kalau kamu memang mau bekerja, kamu harus belajar denganku dulu. Kamu sayangkan sama aku?”katanya waktu itu.“Tentu aja aku sayang sama kamu. Aku sayang banget sama kamu. Tapi emangnya, kita harus begini?”sahutku tidak mengerti.“Ya iya donk sayang. Kamu bakalan dapet uang banyak dengan kerja kayak gini. Percaya deh sama aku. Lagian, ini kan demi kehidupan kita. Katanya kamu mau tinggal sama aku. Kalau mau, kamu harus mau ngelakuin ini!” jawabnya dengan tegas. Aku tahu ini salah. Aku benar-benar tidak menyangka kalau orang yang aku cintai akan menjerumuskanku seperti ini. Namun, aku juga takut, takut Dio meninggalkanku di megahnya kota ini, takut kalau aku tidak dapat menyembuhkan Ibuku, takut kalau aku justru tidak bisa lagi melihat Ibuku yang semakin renta itu. Akhirnya, dengan berat akupun mengiyakan. “Ya udah, aku akan menuruti apa mau kamu.” Jawabku dengan deraian air mata. Ya, aku terlanjur cinta saat itu. Cinta yang benar-benar salah. Dio pun tersenyum. Dan akhirnya, lewat malam itu, harta yang selama ini sangat berharga telah melayang, demi membayar cinta yang begitu mahal.Malam berikutnya, Dio mulai sering mengajakku ke sebuah diskotik ternama, Embassy. Disana, Dio mengajariku banyak hal mengenai pekerjaan itu. Dio juga memberiku nama baru, Vani, karena menurutnya namaku yang lama terlalu kampungan. Semakin lama, akupun mulai mahir. Aku juga mulai memiliki pelanggan tetap. Uang yang aku terima semakin banyak. Aku pun mengirim uang itu ke alamat temanku sekalian meminta tolong untuk segera membawa Ibu ke rumah sakit. Hubunganku dengan Dio pun semakin erat. Kami sudah seperti suami istri. Kehadiran Dio di setiap bangun tidurku, memang sangat menentramkan hatiku. Walaupun aku tahu ini salah, aku pikir Tuhan juga sudah lupa akan keberadaanku sejak Bapak meninggalkan aku dan Ibu.Namun, untuk kesekian kalinya, kedamaianku itu rusak kembali. Temanku dari desa mengirimiku surat bahwa Ibu meninggal. Entah apa yang menyebabkan Tuhan begitu dendam padaku, aku hanya bisa menangis. Hartaku hilang lagi. Harta yang aku pikir dapat aku tambah dengan pekerjaanku justru meninggalkanku satu persatu.Semakin hari, semangatku pun menghilang. Dio pun meninggalkanku karena aku hanya bisa menangisi Ibu setiap malam.“Gue mau pergi!” sahutnya saat itu.“Mau kemana?”kataku.“Udah deh, gue tuh bosen liat lo Cuma bisa nangis. Oh ya, satu lagi. Lo itu udah gak berguna lagi buat gue, jadi gue harap lo bisa ninggalin rumah gue ini secepatnya. Gue mau pas gue pulang gue udah gak ngeliat muka lo dan barang-barang lo itu, ngerti!” sahutnya lalu pergi meninggalkanku.Ga berguna? Aku sudah tidak berguna lagi? Jadi selama ini dia hanya memanfaatkanku? Tuhan, hukuman apalagi ini? Belum puaskah Engkau mempermainkan nasibku? Aku bosan Tuhan! Sudahlah! Aku merasa semua ini sudah berakhir. Semua hartaku yang paling berharga benar-benar lenyap. Dan kini aku,hanya sendiri di tengah megahnya kota yang selalu diidamkan ini, dalam keadaan hancur. Jika memang sudah hancur, hancur saja sekalian. Toh Tuhan tak pernah mau lagi menyapaku. Malah, terkadang aku berfikir Tuhan sudah lupa padaku. Jadi, aku memutuskan akan tetap melanjutkan hidupku dengan satu-satunya keahlian yang Dio tinggalkan padaku, “menyenangkan orang”. Saat itu, aku mulai beranjak. Ku datangi tempat germo yang telah aku kenal dari tempat kerjaku. Dan dia menerimaku, karena dia tahu aku dapat memikat banyak tamu. Saat itu, karirku di dunia hitam itu semakin menanjak. Langgananku semakin bertambah. Dulu, saat dengan Dio, aku hanya bisa melayani sedikit tamu. Tapi sekarang aku melayani sebanyak-banyaknya. Uang bergulir dengan sangat deras. Produk kecantikkan semakin mencantikkanku. Namun tetap satu yang aku rasa, hampa. Semakin lama, hatiku semakin membeku. Aku tidak peduli. Toh aku hidup disini bukan untuk apa-apa.Namun suatu hari, disaat aku berada di puncak “karier”ku, Tuhan kembali mengehempasku. Saat itu, aku merasa kurang enak badan. Bosku menyuruhku untuk segera pergi ke dokter agar cepat sembuh karena tamu yang menantiku banyak. Aku pun menuruti perintahnya. Penyakit yang aku kira hanyalah penyakit biasa, namun ternyata tidak. Ini benar-benar sesuatu di luar perkiraanku. Kata-kata dokter yang seakan berat untuk ia ucapkan, terasa menghujam. Kini, baru terasa, betapa gagalnya aku menjadi seorang manusia. Semua telah terenggut, hanya dengan satu kata ‘Aids’. Entah bagaimana caraku untuk dapat menginformasikan ini kepada bosku. Yang aku tahu, hanya hening yang mampu aku sampaikan. Tanpa tedeng aling-aling, akupun langsung membereskan barang-barangku dan menghilang dari kontrakan itu. ****“Neng, ini ibu buatkan pisang goreng, lumayan neng buat anget-angetan mah.”, tiba-tiba bu Yati datang. Seorang wanita yang menolongku saat aku tak tahu harus kemana. Sekarang, aku tinggal di rumahnya. Ngekos sih, dengan uang hasil pendapatanku sebagai buruh pabrik. Aku mulai mampu meniti kehidupanku untuk memulai dari awal lagi. Mencoba menikmati hari di sisa hidupku, yang aku sadar tinggal beberapa langkah lagi. Hampa kini mulai menipis. Tertempa kehangatan hari, yang baru aku sadari, begitu terang. Walau aku masih belum berani untuk mencoba mendongakan kepalaku kepada-Nya. Terdiam dalam kesendirian. Sudah terlalu banyak air mata. Sudah terlalu banyak rasa iri yang telah aku tanamkan pada kehidupan orang lain. Namun akhirnya, aku memang harus sadar, aku berbeda. Mereka boleh mendapatkan segala yang mereka punya. Mereka boleh selalu berbahagia dengan keberuntungan yang berpihak. Tapi aku berbeda. Aku harus dapat berdiri, walaupun aku belum sanggup untuk berdiri.Mungkin ini memang caraNya untuk membuatku kembali sujud. Tersadar, bahwa bukan hidup yang sempurna yang dapat menjadi sahabatku, tetapi alam, desahan angin, bu Yati, dan Dia yang kini mau kembali menjadi sahabatku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar