| Print Cerpen
Posting cerpen by: igum
Total cerpen di baca: 71
Total kata dlm cerpen: 2521
Tanggal cerpen diinput: Thu, 5 Nov 2009 Jam cerpen diinput: 7:34 PM
0 Komentar cerpen
Bulan itu bulan purnama. Cahayanya jatuh tepat diatas gelombang laut yang tertiup oleh angin malam. Air lautpun tak kuasa menahan sang cahaya yang jatuh hingga ia menjadi nakal untuk menjilati pasir-pasir yang ada di tepi pulau Texel,Belanda. Seorang wanita cantik dan sering kesepian tengah tertegun di pinggir pantai dan tampak tersirami cahaya bulan. SALVIENTY MAKARIM namanya, sebuah nama yang dahsyat !!!. Rambutnya yang panjang kini mulai terkibas-kibas oleh angin laut yang datang sesekali menyapa. Namun tak digubrisnya. Sombong deh !!. Wajahnya nampak tengah menyimpan berjuta kenangan-kenangan manis tapi juga membawa sejuta kepedihan. “Aku benci diaaaaaaaaaaa......”, emosinya tiba-tiba melambung yang ditumpahkan pertama kali diatas secarik kertas. “Aku tak mau hidup seperti ini...kau sapa aku di dalam pesawat lalu kau tinggalkan untaian kata-kata manis yang membuat ku melayang.....tapi kini engkau hilang entah kemana....tak jelas dan tak ada bekas...”, ia menyambung kalimatnya di dalam catatan hariannya tentang seorang laki-laki yang ia pernah kenal di dalam sebuah pesawat tujuan Indonesia-Amsterdam. “Ugghh....dasar laki-laki !!..aku geram...”, kalimat yang ia tuliskan terakhir, sebelum melempar jauh pandangannya ke laut yang sedang menyerap cahaya bulan purnama. *** Suasana malam di Kuala Lumpur sangat meriah menjelang perayaan Deepavali- hari raya orang-orang Hindu di Malaysia. Tapi malam itu tetap saja akan menjadi malam yang durjana dan penuh nista bagi seorang wanita yang berdarah minang dan haus akan belaian para pria. DINITA MELANI CANIAGO namanya. “Cukup paggil saya mela...titik”, kalimat pertama yang ia goreskan untuk malam itu membuka catatan hariannya 4 november 2009. “Hi Lelaki...kau memang tak punya perasaan....kau beri aku harapan...lalu kau gantung perasaanku...tapi tak hanya sampai disitu...kini engkau pergi...dengan alasan ke Saudi untuk naik haji...”, kembali ia mencoretkan kekesalanya di atas kertas putih yang tak bergaris. “Kau boleh pergi ke saudi dengan berbagai alasan yang kau punya...untuk agama lah...untuk travel lah..untuk bisnis agensi mu lah...bahkan untuk mencari wanita lain yang lebih muda pun aku sudah tak peduli.....”, kalimat-kalimatya penuh emosi tertuang dalam buku harianya. “Uggh...aku ingin muntah mendengar namamu....sekali lagi aku mendengar namamu, rasanya ingin pecah air ketubanku...”, sambung wanita yang tengah hamil tujuh setengah bulan ini meneruskan beberapa alinea. “Aku tak sudiiiiii.......pergi sana ke saudi dan tak usah engkau kembali.....”, kalimat terakhir yang ia tuliskan sebelum menyeka air matanya yang jatuh diatas catatan harianya dan mebuat luber tinta-tinta yang telah ia goreskan. *** Dimalam yang bersamaan ketika mela tengah terserap batin yang berkecamuk, suasana ibu kota juga nampak begitu suram bagi seorang mahasiswi kedokteran UI yang tengah dilanda gundah gulana. Jalan salemba masih saja ramai dengan mikrolet, metromini, bajaj dan lalu lalang tuk-tuk yang sesekali timbul dari arah cikini. Ramainya suasana jalanan tetap saja menjadi sepi buatnya, sekalipun 10 sirine mobil pemadam kebakaran meraung-raung di depan kost-an nya. Iya, tetap sepi....dan sepi...bagi RATIH MAULINA DEWI. “Aku biasa dipanggi Ratih....”, ia mencoba untuk mengetikan jarinya diatas keyboard laptopnya. “Terkadang aku resah dan merasa kesepian...karena calon suami ku tak kunjung datang.....karena bagiku lelaki itu harus menjadi suamiku dahulu baru menjadi pacarku.”, tulisnya dalam software microsoft word 2003. “Apakah aku bisa percaya dengan laki-laki...langsung menikah tanpa harus mengenalnya lebih dulu ??....”, kalimatnya mengundang jutaan bertanyaan yang saling berdesakan memenuhi dendrit (jaringan sel-sel saraf) di otaknya. “DIJODOH KAN...? Bukan zaman siti nurbaya lagi saat ini.....”, tulisnya kembali. “Aku tak mau punya pacar tapi aku mau punya suami....tapi.......tapi aku bingung.....”, kebingunganya disaksikan oleh simbol-simbol huruf di atas laptopnya. “Aghh......aku benciiiiiiiiiiiiii”, jari jemarinya semakin lincah menari-nari diatas keyboard. *** Disebelah kutub utara, tepatnya sebuah kota kecil yang bernama Tula di daerah Rusia sana, ada sesosok wanita berjilbab yang tinggal sebatang kara. Entah apa yang membawanya hingga sampai kesana. Mungkin karena kegilaannya pada fisika dan ingin mengejar cita-cita, hingga ia rela untuk berpisah dengan keluarganya di jakarta. Ia memilih hidup di tengah-tengah kesepian yang semakin menggigit pori-pori kulitnya. “Tuhan....berikan aku kepastian dan keteguhan hati untuk memilih....”, kalimat pertama yang ia tuliskan dengan pulpennya di atas buku catatan hariannya ketika malam mulai merangkul kutub utara. “Tuhan...mengapa aku harus larut dan mati dalam ketidakpastian untuk memilih ?...aku tak mau mati dalam pilihan-pilihan....ya tuhaaaaaaannnn.....berikan hatiku keteguhan untuk memilih lelaki mana yang harus aku jadikan ayah bagi anak-anakku...”, jerit hati PATMAH FATONI yang tertulis di atas kertas putih diiringi dengan tetesan air mata yang membuat kertas itu terkesan nampak diciumi rintik-rintik hujan di musim kemarau. *** Malam tetap bergulir menuju pagi, tapi perasaan tetap tak mau hengkang dari setiap sudut sisi sanubari. Dinginya malam bak hendak menghentikan aliran-aliran darah di jaringan Nervous system (saraf-saraf otak). salvi masih saja tetap duduk tertegun menatap debur-debur ombak yang datang silih berganti menciumi ujung kakinya. Romantis bukan......(Cihuyyy). Matanya berbinar terang seakan hendak meredupkan cahaya bulan. “Cintaku mungkin seperti cinta Newton”, tulis salvi yang tengah mengejar impian menjadi ahli fisika kelautan. “Iya, tepatnya hukum Newton 3.” wanita yang juga keranjingan fisika inipun masih saja sempat-sempatnya menuliskan rumus tersebut disela-sela gundah hatinya. “Rumus itu mengatakan...Jika kita memberikan sejumlah AKSI dalam nilai tertentu maka akan sebesar itu pulalah REAKSI yang akan kita dapatkan ”, rumusnya ganas. “Mungkin seperti itulah anomali cintaku saat ini....aku terlalu banyak berharap pada lelaki itu....maka ketika pesawat membawanya pergi dan tak pernah kembali...maka sebanyak itu pulalah rasa kekecawaan dan penderitaaan yang menggetarkan setiap membran-membran hatiku...”, ungkapnya dalam catatan hariannya yang telah mencapai dua halaman muka surat. “Tapi satu hal yang aku tak mengerti.....Kenapa engkau pergi dan tak pernah kembali sedangkan aku masih merindukan untaian-untaian kata manismu yang membuatku terbang melambung menembus semua permukaan atmosfer yang ada di bumi....”, tanganya kini mulai gemetar dan air matanya tak terasa menetes, terserap pasir, dan menyatu bersama air laut. “Biarlah...semua ini akan aku pendam hingga akhir hayat...tak akan ada yang tau...hanya aku dan tuhanku....biarlah engkau pergi dan tak perlu lagi kembali...karena kehadiramu hanya akan mencabik-cabik lukaku yang semakin menganga”, kalimatnya syahdu, penuh guratan-guratan tinta kehidupan. *** Mela yang tengah berusaha menghentikan jutaan galon air matanya yang tertumpah masih tetap menari-narikan jarinya diatas kertas putih yang tak bergaris itu. Kertasnya nampak hampir basah setengah halaman oleh tetesan air matanya yang tercampur make-up bermerek avon. “Sudah lah....rasanya laki-laki di dunia ini memang sama saja.....semuanya hanya pandai membuat kata-kata manis yang mampu membuat para wanita terbang melambung tinggi...”, ungkapnya semakin kesal dalam buku harian. “Apakah ini nasib menjadi seorang wanita ? . Yang selalu menjadi korban kegananasan nafsu biadab para lelaki. Ahh...aku mual.....andaikan janin ini tak terpancang di dalam rahimku...sudah aku hentikan nyawanya dari awal-awal....janin ini akan lebih baik jika ia tidak terlahir ke dunia...kasihan dia...dunia ini penuh dengan senda gurau dan tipu daya”, tulisanya makin membatin dan penuh dengan nilai-nilai filsafat aristotel dan plato. “Mungkin hatinya akan sedih ...jika kelak jika ia terlahir dan tahu bahwa bapaknya tak lebih dari binatang jalang...yang hanya nafsu... dan nafsu”, tulisnya mengawali paragraf pertama di halaman ke 4. “Hatiku sakit....sakit yang tak akan pernah terobati....Kau boleh lukai fisik-ku karena dokter bisa berikan obat yang menyembuhkan seiring berjalanya sang waktu...tapi jika psikis-ku yang kau lukai...mungkin sangkitnya akan aku bawa sampai mati”, sambungnya dalam paragraf baru. “Lingkungan selalu membuat wanita menjadi makhluk yang hanya bisa menunggu dan menunggu...jika saja wanita menyumbangkan suara nuraninya yang terjepit...maka ia akan segera di labelisasi dengan kata AGRESSIF dan TAK TAHU SOPAN SANTUN”, hatinya semakin terasa makin teriris-iris oleh silet yang sudah berkarat. “Aku masih sayang kamu...hatiku masih menaruh harapan padamu...tapi jika kau sayat-sayat hari demi hari maka jantungku akan bocor dan tak mampu lagi menampung sedikit rasa sayangku padamu”, ungkapnya penuh emosi yang memuncah. “Ingat mas...jangan sampai aku kehilangan batas kesabaran.....orang dendam pikiranya tidak stabil karenanya ia tak mampu menahan emosi...asal engkau tau...orang dendam bisa memindahkan gunung dan mengeringkan samudra ”, jari-jarinya semakin goyah untuk menulis. “Engkau pikir...hanya kamu saja mas yang bisa mencari wanita lain yang lebih muda di Saudi...aku juga bisa mencari laki-laki lain...akan aku buktikan...” tegasnya dengan tinta merah. “Kini aku sedang dekat dengan lelaki lain yang lebih muda dari ku...karena seleraku adalah selera berondong.....wajahnya tampan....otaknya brilian...lulusan ITB....tidak seperti engkau mas...Lulus SMP saja sudah untung”, tulisanya penuh dendam. “Dia suka mengirimkan ku lagu lewat radioppidunia (www.radioppidunia.com/listen)...dia amat perhatian dan penyabar...dan juga suka mengirimkan lagi kesukaanku..“WHAT CAN I DO TO MAKE YOU LOVE ME ? by the Corrs.”, tulisanya penuh kerinduan. “Iya hanya sekali mengunjungiku ke malaysia”, pikiranya melayang jauh ,teringat waktu menjemputnya secara diam-diam di Bandara Internasional Kuala Lumpur. “Tapi lagi-lagi....dia suka menggantung perasaanku....dia tak pernah mengungkapkan perasaanya...entah dia malu, entah takut, entah pengecut...entah......”, mela menuliskan kebingungannya. “Agghhh....laki-laki membuatku merasa jadi seperti roaler coster yang lepas kendali.....pergi sana wahai para lelaki....aku muaaaaaakkkk”, kalimat terakhirnya ia goreskan diatas catatan hariannya. *** “Kenapa...laki-laki tak kunjung juga datang melamarku?....wahai para lelaki aku ini adalah calon dokter....jika saja engkau menjadi suamiku akan aku rawat segala kesehatanmu dan obati segala lukamu.....aku tahu bagaimana mengobati dan merawat luka fisik...tapi bukan berarti aku tidak mampu untuk belajar untuk menjaga dan merawat hatimu jika terluka”, tulis ratih dengan nada penuh harapan. “Hatiku sepi... penuh dengan tautan-tautan tanda tanya kehidupan yang menggantung di awan tinggi yang tak dapat aku gapai sendirian....aku perlu pendamping untuk menggapainya di langit ke 7...jiwaku masih merah semerah jambu monyet yang menarik siapapun yang melihatnya untuk memetik...tapi jika tak ada yang berani memetik, maka jambu itu akan membusuk dan tak akan pernah terasa manis walau sampai di pangkal lidah”, Ratih semakin lihati menari-narikan jarinya “Oh lelaki ...dimanakah engkau bersembunyi....aku tak tahu siapa laki-laki yang aku suka...dan siapa laki-laki yang tidak aku suka...karena aku suka semua laki-laki...”, tulisannya mengungkapkan sisi abu-abu seorang ratih. “Aku bingung...aku tidak ingin pacaran... aku hanya ingin suami ”, tulisnya. “ Tapi jika aku menikahi seseorang tanpa mengenalnya lebih dulu...itu sama saja aku sedang bermain judi...karena aku tak tahu seperti apa nantinya....karena aku juga tak tahu apa dan bagaimana asal-muasalnya lelaki itu”, kembali ia mencurahkan isi hatinya di atas laptop. “Aku percaya bahwa jodohku akan datang suatu hari.....tapi apa makna dari kata jodoh...? kebanyakan orang menyebut jodoh adalah ketika ia bertemu “pasangan”nya lalu mereka menikah....tapi kenyataanya menikah tidak cukup untuk mendefinisikan jodoh ”, hati kecilnya berbicara. “Sudah jutaan yang terekam dalam sejarah manusia...mereka menikah dan kemudian berakhir dengan kata Talak yang kemudian tidak pernah rujuk hingga akhir hayat”, bayang-bayang yang mengerikan itu ia curahkan dalam tulisannya. “Lalu seperti apa makna dan konsep jodoh ?...aku bingung...aku takut...!!”, sebuah ketakutan yang ia coba terjemahkan ke dalam bahasa manusia. “Konsep jodoh yang selama ini kebanyakan orang pahami, sudah cukup menggetarkan setiap otot-ototku jantungku hingga akhirnya aku merasa aorta-ku telah menyempit”, tanganya semakin cepat memencet tombol-tombol diatas laptop. “Tak ada definisi yang jelas tentang kata jodoh buatku...hanya ada satu cara mendifinisikan jodoh bagiku....dimulai dari ijab qobul hingga akhir hayat....selama nyawaku masih ada terpatri di rongga dada...maka selama itu pulalah konsep jodoh masih tetap harus dipertanyakan dan diuji ke konsistensiannya....jodoh bukan sampai ijab qobul...tetapi jodoh adalah memaknai perjalanan hidup bersama, dikala suka maupun duka...hingga salah satu darinya meregang nyawa”, kalimatnya syahdu penuh makna dan tak akan tergoyahkan oleh badai katrina sekalipun. Jalan salemba masih saja penuh dengan hiruk pikuk suara bajaj, mikrolet dan metromini yang menuju jurusan Kampung Melayu- Senen. Tapi suasana hati ratih masih sunyi senyap tak seramai jalanan salemba di malam itu. **** Patmah Fatoni masih tetap menangis dibawah cahaya bulan yang menembus masuk lewat kaca jendela kamarnya. Air matanya masih tergumpal diatas meja belajar yang agak sedikit berdebu hingga akhirnya terbiaskan oleh cahaya bulan purnama. Biasan-biasan air matanya memberikan warna yang berbeda, membuat bumi sekan bertekuk lutut ikut mengheningkan cipta. “Tuhan...kalau boleh aku meminta...tolong engkau cabut nyawaku ketika aku tidur, agar aku tak lagi merasakan pedih dan sakit dalam ketidak pastian untuk memilih”, coretan-coretannya menambah dunia semakin nampak bermuram durja. “Aku tak pernah tau apa yang terjadi padaku nanti.....semua pria-pria yang menaruh harapan padaku hanyalah ilusi...bagaimana bisa ilusi ? Iya, karena cintaku adalah cinta virtual....sudah semua benua aku datangi, mulai dari afrika hingga australia....tapi hatiku terkadang tertambat di benua amerika”, ungkapan perasaanya tertulis di atas kertas yang tergeletak di meja belajar. “Ahhhh....penat..l.etih....ketika aku harus berpikir tentang cinta dan semua perasaanku...aku mungkin terkadang tidak bersyukur...aku hanya tinggal memilih....wanita-wanita lain bahkan teramat sulit bagi mereka untuk mendapatkan seorang lelaki yang mau mendekatinya”, tulisnya coba menenangkan diri. “Aku kufur nikmat....aku tak pernah menghargai apa yang sudah tuhan berikan”. “Berikan aku secercah cahaya Mu tuhan agar aku dapat melihat yang terbaik dalam hidupku.....aku tak mau mati dalam ketidakpastian. Karena jika aku terkubur diantara pilihan-pilihan yang tak pernah aku pilih maka itu adalah kepedihan yang abadi”, tulisnya lagi. “Wahai lelaki....jangan engkau permainkan perasaan kami...hati kami lemah tapi hati kami dapat merasa jutaan kilometer yang berada jauh di luar bumi.....kami mungkin tak berdaya tapi bukan berarti kami tak bernyawa...kami mungkin tampak bisu...tapi bukan berarti kami tak punya lagu....kami mungkin nampak tidak pasti...tapi bukan berarti kami tak punya visi dan misi...kami mungkin nampak tidak berarti tapi kami punya hati nurani...sekali lagi... izinkan aku mengatakan....wahai lelaki !! mungkin engkau tak akan pernah paham seutuhnya tentang kami...karena kami adalah wanita yang sering bermain dengan sanubari dan bersyair dengan elegi”, kalimatnya mengakhiri catatan hariannya malam itu. Awan-awan hitam nampak mulai menghalangi cahaya bulan yang melintas merentas statosfir. Angin malam nampak mulai tak sabar menyentil siapapun yang ada dihadapanya. Hembusannya semakin dingin serasa hendak menguliti dan membuka lebar pori-pori. Salvi masih tetap duduk tertegun menatap ombak ditengah malam yang saling berkejaran. Mela mencoba menyandarkan tubuhnya ke atas sofa empuk sambil mencoba menghentikan tangisnya yang masih tersedu-sedu. Kelenjar air matanya sudah kering-kerontang, tapi dendam masih tetap menyelinap di setiap rongga dada. Ratih tetap tertegun di depan laptopnya dan masih tetap dilingkari oleh beribu-ribu pertanyaan tentang jodoh . Patma masih tetap menangisi akan kebodohan dirinya yang tak pernah menjatuhkan pilihan. Malam mencoba secara perlahan undur diri dan membiarkan dirinya ditelan sang fajar yang akan segera mengintip dari ufuk timur. Malam semakin jauh meninggalkan mereka. Walau malam agak sedikit enggan dan sungkan untuk berpamitan dengan mereka. Karena malam takut mengusik perasaan mereka yang sedang di runung kesedihan. “Wahai malam !! jangan engkau tinggakan aku...biarkan aku menyatu bersamamu...dan bawalah aku ke haribaanmu...karena jika pagi datang...pedih ku terasa semakin menjadi-jadi karena dengan cahayanya ia akan menunjukan bahwa lukaku semakin menganga”, serentak para wanita itu memohon dalam hati. Malam menjawab : “Maaf, aku tidak bisa”. Kanada, 00.01 am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar